MAKALAH
SOSIOLOGI
CULTURE
SHOCK
Disusun Oleh :
1.
2.
3.
4.
SMA
NEGERI 1 SINE
TAHUN AJARAN 2017 - 2018
BAB 1
Latar belakang
Culture shock merupakan fenomena yang
akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain
sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup denganorang-orang yang berbeda
pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai olehorang tersebut
(Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009).
Littlejohn,dalam jurnal yang ditulisnya,
meyatakan bahwa culture shock adalah fenomena yang wajar ketika orang bertamu
atau mengunjungi budaya yang baru. Dari jurnal ilmiah ini bisa disimpulkan
bahwa setiap siswa menjadi wajar jika mengalami culture shock sebagai
akibat perpindahannya dari lingkungan sekolah menengah yang lama kelingkungan
universitas yang baru. Kebiasaan-kebiasaan di lingkungan baru, seperti
yangdiungkapkan Balmer, dapat menyebabkan tekanan dan berakibat pada
kompetensiakademik siswa tersebut. Akan menjadi negative kalau culture shock
tersebut tidak teratasi, dalam hali ini orang gagal untuk meyesuaikan
dirinya dengan lingkungan barunya, dan menjadi depresi (Littlejohn, 2004;
Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer,2009).
1.2
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masalah yang telah diuraiakan diatas, untuk memperoleh suatu
kesimpulan yang jelas maka perlu adanya peumusan masalah yang tepat dan mampu
membatasi agar pembahasan lebih ringkas. Rumusan masalah tersebut diantaranya
sebagai berikut:
1. Apa
faktor penyebab terjadinya culture shock
atau gegar budaya?
2. Apa
efek atau akibat dari terjadinya culture
shock?
3. Bagaimana
solusi dari permasalahan culture shock
tersebut?
1.3
TUJUAN
MASALAH
1.
mengetahui faktor
penyebab terjadinya culture shock
2.
mengetahui efek atau
akibat dari terjadinya culture shock
3.
mengetahui solusi dari
permasalahan culture shock
BAB II
2.1
Pengertian
Culture
shock atau dalam bahasa indonesia “gugat budaya” adalah istilah psikologis
untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi lingkungan sosial
dan budaya yang berbeda.
Istilah ini mengandung
pengertian,adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang
harus di lakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu yang dialami
oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara
kultur atau sosial baru.
Faktor
penyebab timbulnya “Masalah Culture shock”
dari yang dominan hingga paling rendah, berikut ini penjabarannya:
1) Faktor
pergaulan
Pada faktor ini,
individu cenderung mengalami ketakutan akan perbedaan pergaulan disetiap tempat
yang baru. Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam menghadapi
situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan suasana yang baru. Akibat
ketidak pahaman mengenai pergaulan ini, individu juga akan merasa terasing
dengan orang-orang disekelilingnya yang dirasa baru baginya.
2) Faktor
teknologi
Dewasa ini perkembangan
teknologi semakin melaju pesat. Perkembangan teknologi yang semakin mutakhir
ini menyebabkan masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk mengikuti
perkembangan teknologi agar mampu bersaing di dunia global. Teknologi juga
merupakan faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture shock. Individu merasa takut
tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi di tempat tinggal barunya sehingga
individu cenderung akan merasakan ketakutan. Individu disini dituntut untuk
berpikir keras bagaimana caranya untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi
serta mampu mengaplikasikannya dikehidupannya.
3) Faktor
geografis
Faktor geografis
identik dengan keadaan geografis di daerah tersebut. Faktor geografis ini
merupakan faktor lingkungan secara fisik, misalnya perbedaan cuaca, perbedaan
letak wilayah seperti daerah pantai dengan daerah pegunungan. Hal ini akan
menyebabkan individu tersebut mengalami gangguan kesehatan.
4) Faktor
bahasa keseharian
Bahasa merupakan
cerminan dari sebuah kebudayaan yang beradab. Bahasa tidak bisa dianggap dengan
sebelah mata dewasa ini. Individu yang mengalami kekagetan terhadap budaya baru
sering kali dihubungkan dengan faktor bahasa sebagai salah satu ketakutan yang
cukup besar ketika akan menetap ditempat yang baru. Tidak menguasai atau bahkan
tidak mengerti sama sekali bahasa merupakan suatu hal yang wajar yang
menyebabkan timbulnya culture shock.
5) Faktor
ekonomi
Ketakutan terhadap
biaya hidup yang berbeda yang memiliki kemungkinan lebih tinggi merupakan salah
satu faktor penyebab timbulnya culture
shock. Ini merupakan hal umum yang terjadi bahwa setiap daerah di negara
Indonesia memiliki kemampuan konsumsi yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang
menyebabkan individu guncang ketika dihadapkan pada permasalahan tempat tinggal
yang baru. Individu harus mulai berusaha, bersiap serta berwaspada
mengantisipasi agar mampu bertahan hidup ditempat tinggal yang baru.
6) Faktor
adat istiadat
Faktor ini merujuk pada
tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah yang
notebene memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Untuk itu
individu harus mampu beradaptasi dengan adat istiadat di daerahnya yang baru.
Namun beradaptasi dengan adat istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi
seorang pendatang, maka individu cenderung mengalami kekagetan budaya terutama
dalam hal adat istiadat tersebut.
7) Faktor
agama
Agama dianggap sebagai
salah satu penghambat individu dalam usahanya menyesuaikan di tempat tinggal
yang baru. Individu mengalami ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi
perbedaan yang sangat rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya.
2.2
Solusi
Pemecahan Masalah Culture shock
Dari
bebrapa faktor penyebab terjadinya culture
shock, kelompok merumuskan solusi
untuk mengatasinya. Antara lain yaitu :
1. Faktor
pergaulan
Individu
harus belajar membiasakan diri beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan
barunya, dengan pembiasaan ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dari individu
tersebut dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan barunya
tersebut. Pergaulan yang baik akan membuat seseorang lebih mudah menjalani
kehidupan sosialnya.
2. Faktor
teknologi
Dewasa ini
teknologi semakin berkembang pesat dikalangan orang banyak, semakin pesat
teknologi berkembang maka orang-orang dituntut untuk semakin keras mempelajari
dan mengaplikasikan teknologi yang ada dalam kehidupannya. Seorang individu
yang berada di lingkungan baru baginya pasti akan merasakan perbedaan teknologi
yang berkembang di lingkungan tersebut, terlebih lagi apabila individu yang
berasal dari daerah pelosok kemudian datang ke daerah yang cukup pesat
perkembangan teknologinya.
3. Faktor
geografis
Faktor geografis dalam
persentasenya memperoleh 18,60% dari keseluruhan total faktor penyebab
terjadinya culture shock. Karena
faktor geografis ini berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan maka hal
ini dapat diatasi dengan cara individu lebih menjaga kesehatan yang cenderung
menurun ketika individu tersebut tinggal di suatu tempat tinggal yang baru,
yang tentunya jauh berbeda dengan tempat tinggal semula. Pencegahan yang baik
perlu dilakukan secara terus menerus agar individu tetap berada di kondisi yang
prima dalam menjalani aktifitas sehari-hari.
4. Faktor
bahasa keseharian
Bahasa keseharian
memiliki prosentase sebesar 17,30% dari keseluruhan
faktor penyebab terjadinya culture shock.
Untuk mengatasinya kelompok memberikan solusi diantaranya yaitu dengan
menumbuhkan kemauan belajar bahasa kepada setiap individu ketika tinggal
ditempat yang baru. Kemauan belajar bahasa tersebut bisa dilakukan dengan cara
meminta bantuan kepada teman yang memang berasal dari daerah tersebut untuk
mengajarkan bahasa keseharian di daerah tersebut.
5. Faktor
ekonomi
Faktor ekonomi ini
dapat diatasi dengan cara pengelolaan keuangan yang baik sesuai dengan
kebutuhan masing-masing individu, agar individu dapat menyesuaikan pemasukan
keuangan dengan pengeluarannya. Pada saat proses pendidikan alan lebih baiknya
individu juga melakukan program saving
money, untuk mengatasi kebutuhan tidak terduga.
6. Faktor
adat istiadat
Pada dasarnya
melekatnya kebudayaan terhadap seorang individu membutuhkan proses dan waktu,
semua tidak terjadi begitu saja. Solusi menurut kelompok adalah individu harus
lebih membuka dirinya terhadap adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang
umumnya terjadi dimasyarakat. Dengan cara tersebut diharapkan individu dapat
lebih menghindari terjadinya culture shock/gegar budaya.
7. Faktor
agama
Faktor agama yang
menyebabkan terjadinya culture shock ini hanya mendapat persentase sebesar 0.13
%. Artinya faktor agama tersebut dianggap tidak terlalu mendominasi terjadinya culture shock. Solusinya yaitu individu
harus lebih meningkatkan sikap toleransinya antar umat beragama.
2.2 Tanda-tanda culture
shock :
Ada
5 tanda seseorang terkena culture shock,yaitu :
1. Terus-terusan
berpikir negatif dan mulai membanding-bandingkan keadaan di tempat baru dengan
kampung halaman.
2. Mulai
frustasi, gampang marah dengan hal-hal kecil karena tidak bisa mengikuti pola
hidup disana, menjadi malas bergaul dan memilih diam saja karena merasa tidak
PD.
3. Mulai
merasa sedih dan terasingkan walaupun saat itu sedang berada di tengah-tengah
orang banyak.
4. Mulai
kehilangan identitas dan ciri-ciri pribadi
5. Mulai
merasa kurang sehat, jadi sering flu, pilek, demam, diare dsb
2.3 Shock
Reaksi terhadap cultural shock bervariasi antara 1
individu dengan individu lainnya dan dapat muncul :
1. Antagonis
/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. Rasa
kehilangan arah
3. Rasa
penolakan
4. Gangguan
lambung dan sakit kepala
5. Homesick/rindu
pada rumah/lingkungan lama
6. Rindu
pada teman dan keluarga
7. Mersa
kehilangan status dan pengaruh
8. Menarik
diri
9. Menganggap
orang-orang dalam budaya tuan rumah
2.5 Tingkatan
Culture Shock
·
Fase optimistik, fase
pertama yang digambarkan pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi
kegembiraan, rasa penuh harapan dan euphoria sebagai antisipasi individu
sebelum memasuki budaya baru.
·
Masalah cultural, fase
kedua dimana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena
kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru dll.Fase ini biasanya
diikuti dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam
cultural shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya dan
dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah,
tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
·
Fase recovery, fase
ketiga dimana orang mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara
bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya
baru. Orang-orang danperistiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi
dan tidak terlalu menekan.
·
Fase penyesuaian, fase
terakhir pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya
barunya (nilai-nilai, adaptasi khusus, pola komunikasi, keyakinan, dll)
kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda biasanya juga disertai dengan
rasa puas dan menikmati.
Beberapa literatur yang lain
menyarankan hal-hal berikut ini untuk mengatasi culture shock dengan
baik, yaitu antara lain:
- Sebelum individu berangkat ke negara baru yang
akan dimasukinya, ada baiknya apabila ia sudah terlebih dahulu membaca
tentang negara tersebut dan budaya yang ada di negri tersebut. Hal ini
akan membantu individu ini untuk lebih familier dengan negara yang akan
dimasukinya, dan lebih siap untuk berhadapan dengan berbagai perbedaan
yang akan dihadapinya.
- Mengelola pengharapan (manage expectations).
Harapan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut
menginterpretasikan dan menilai suatu kejadian. Menjaga agar harapan
sedapat mungkin realistis dan sesuai dengan kenyataan serta kemampuan
diri akan menjaga agar stress selalu dalam kondisi rendah. Berharap
terlalu tinggi terhadap penduduk setempat untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan keinginan individu itu sendiri hanya akan membuat individu tersebut
merasa frustrasi).
- Memiliki tujuan yang jelas akan kedatangan ke
negri tersebut. Dengan terus mengingat dan memegang teguh tujuan awal
datang ke negara tersebut, individu akan menjadi lebih siap untuk berjuang
demi mencapai tujuannya. Hal ini juga akan menolong individu untuk terus
memiliki fokus untuk melakukan hal terbaik dan terpenting selama di negri
yang baru. Menjaga prioritas akan menolongnya mengatasi culture shock (www.ips.uiuc.edu/sao/students/curr-cultureshock.html).
- Dalam penelitian Chapdelaine (2004) ditemukan
bahwa tingginya kesempatan untuk berinteraksi dengan penduduk asli
berhubungan dengan rendahnya culture shock. Interaksi akan
lebih sulit untuk dilakukan apabila seseorang tidak memahami bahasa
pengantarnya dengan baik. Oleh karena itu, penguasaan bahasa yang baik
menjadi syarat penting untuk mengatasi culture shock. Jadi
disarankan bagi individu untuk menguasai bahasa pengantar di negara
tersebut untuk menghindarkan individu dari kondisi culture shock.
- Bersedia untuk belajar kultur yang baru. Individu
perlu menyadari bahwa kultur bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, tetapi
sesuatu yang dipelajari (Guanipa, 1998). Hal yang dibawa sejak lahir
adalah kemampuan individu untuk belajar kultur, apapun kultur itu. Oleh
karena itu, kesediaan untuk belajar kultur yang baru akan membantu untuk
mengatasi kesalahpahaman dan menolong teratasinya persoalan-persoalan
sosial di tempat yang baru. Hal yang sama yang perlu dipahami adalah bahwa
nilai-nilai yang selama ini telah dipelajari dari kulturnya yang lama
bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan paling benar. Nilai dan
keyakinan itu menjadi benar bagi individu karena proses sosialisasi yang
dilakukan oleh orangtua individu padanya, melalui pemberian hadiah dan
hukuman sehingga individu meyakini kebenarnanya. Dengan demikian kesediaan
untuk membuka diri, belajar dan menghargai kultur yang baru akan
membuka jalan bagi individu untuk mengatasi culture shock yang
dialaminya.
- Mencoba menemukan kesamaan-kesamaan nilai-nilai
antara kulturnya dengan kultur yang baru. Dengan menemukan
kesamaan-kesamaan ini, individu akan menjadi lebih merasa dekat dengan
negara baru yang didatanginya. Hal ini menimbulkan perasaan memiliki dan
familier, sehingga mengurangi perasaan terasing yang dialami akibat culture
shock (Guanipa, 1998).
- Saat kemarahan dan frustasi-frustasi muncul
terhadap kultur yang baru dan kecenderungan mengkritik kultur yang baru
sangat kuat muncul, sebaiknya individu berhenti sejenak untuk berpikir dan
menganalisa persoalan dengan lebih objektif (Guanipa, 1998), tidak
melakukan generalisasi. Sangat penting juga menjaga pemikiran untuk tidak
dengan gegabah melakukan stereotyping, bisa jadi kesalahan yang
dilakukan oleh orang-orang di tempat yang baru bukan masalah kultur,
tetapi memang masalah watak dari individu tersebut. Dengan kata lain,
individu harus menghindari mencampuradukkan masalah personal sebagai
masalah kultur. Hal ini berarti, orang dengan watak yang mengganggu tsb.
bisa saja ditemukan di kultur manapun, termasuk di kultur asalnya sendiri,
sehingga tidak perlu menyalahkan negara baru sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas ketidaknyamanan yang dialaminya.
- Memelihara dukungan sosial dan emosional.
Ketika
berada di lingkungan yang baru, seseorang membutuhkan orang-orang yang bersedia
memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial meliputi dukungan emosional,
dukungan penghargaan, dukungan instrumental (material), maupun dukungan
informasi. Individu harus berusaha agar di tempat yang baru ini, ia memiliki
orang-orang yang dapat memberikan dukungan-dukungan sosial yang diperlukan.
Dukungan ini bisa diperoleh melalui orang-orang yang berasal dari satu negara
(misalnya ada perkumpulan pelajar Indonesia di Amerika dll.), atau bisa
diperoleh dari orang-orang dari lembaga pelayanan (misalnya di gereja biasanya
ada divisi pelayanan mahasiswa/mahasiswa asing). Dengan mengikuti
organisasi-organisasi tertentu individu bisa membuka network dan
persahabatan dengan orang-orang ini yang bisa memberikan dukungan sosial yang
diperlukan.
- Membangun
zona stabilitas. Yang dimaksud dengan zona stabilitas adalah segala
sesuatu yang bisa membuat individu merasa nyaman dan relax. Hal ini bisa
segala sesuatu yang berhubungan dengan hobi,atau hal-hal yang menyenangkan
lainnya. Hal ini berarti bahwa selama di negara baru, individu tidak boleh
melupakan untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan yang bisa membuat individu
merasa nyaman dan relax.
- Beberapa orang menyarankan untuk memiliki jurnal
harian. Dalam kondisi belum memiliki seorangpun yang bisa diajak bicara,
mencurahkan kegelisahan pada jurnal harian akan membantu proses katarsis
individu. Seringkali menuliskan hal-hal yang menggelisahkan dalam jurnal
juga menolong individu untuk melihat persoalan-persoalan yang sesungguhnya
yang mungkin tak akan tampak bila hanya tersimpan di dalam pikiran saja
(www.juliaferguson.com/shock.html)
2.6 Perbedaan Culture Shock Di Berbagai Negara
·
Di
India, " karet " berarti sepotong karet Anda gunakan untuk menghapus
tulisan pensil, biasanya dikenal sebagai " penghapus " di AS.
Sayangnya, " karet " biasanya mengacu pada kondom di Amerika Serikat
.
·
Kami
pergi ke universitas di Inggris untuk sementara waktu, dan suatu hari sesama
mahasiswa datang ke laboratorium suami saya dan mengatakan ia melihat seorang
profesor berjalan menyusuri lorong dengan Winchester. Suami saya sudah siap
untuk memukul dek, tapi tidak ada orang lain tampak khawatir. Ternyata bahwa
Winchester adalah termos besar di Inggris, bukan senapan seperti di sini di
Amerika !
·
Di
India, duduk dengan kaki disilangkan dianggap sebagai tanda hormat kepada orang
lain. Ibuku mencubit kaki saya ketika saya duduk dalam posisi seperti itu aku
tinggal di pedesaan Jepang sekarang. Saya pikir banyak kejutan budaya di sini
lebih berkaitan dengan cara-cara yang Jepang tampaknya begitu dekat dengan
budaya Amerika, namun begitu jauh. Jadi, itu adalah negara modern dengan lampu
listrik - tetapi switch cahaya gaya yang berbeda dari yang AS.
Carilah
kemanapun Anda pergi ke Amerika Serikat, tombol lampu semua dipasang terbalik. Anda
berjalan dan sampai ke sisi dalam gelap (setidaknya saklar masih di tempat yang
tepat) dan menekan tombol ke bawah itu untuk menyalakannya - hanya ketika Anda
menemukan bahwa itu sudah dalam posisi "on". Ini lebih mengganggu
daripada menemukan bahwa orang-orang berkendara di sisi jalan yang lain.
·
Di paris,ketika kita
keluar saat pagi dan berkata “bonjour”kepada setiap orang yang kita temui dan
akan membalas “bonjour“ juga.jika kita melakukan itu di New York,maka orang New
York akan menjauhi anda karena mereka mengira kita akan menganiayanya.
Di
Asia jika kita bertemu dengan seseorang dan menatapnya terlalu lama,mereka
menganggap kalau itu tidak sopan,tapi tidak untuk negara barat, mereka terbiasa
untuk menatap mata terlalu lama dengan orang yang di temuinya.
2.7 Mengatasi
Culture Shock
1.
berpartisipasi dalam budaya baru
2.
bersikap
tegas dan belajar mengungkapkan perasaan
3.
bersedia
berbagi culture dan budaya
4.
menahan
judgement tentang budaya baru yang akan dimasuki
5.
secara
periodik menghubungkan diri dengan budaya asal
6.
berhati
– hati dengan stereotype
7.
tetap
memelihara identitas diri dan budaya asal
8.
tidak
menginterpretasi budaya baru dengan budaya asal
9.
belajar
menggunakan perkakas budaya baru
10.
mencari
berbagai informasi tentang budaya baru
11.
menjaga
toleransi ambiguitas makna yang tercipta dari kedua budaya
12.
tetap
memelihara sens of humor
13.
belajar
menerima sesuatu yang tidak sesuai harapan
14.
tetap
open minded
BAB III
KESIMPULAN
Seiring
dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga
kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang
berbeda, issue mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan
lebih serius daripada sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang
dialami karena culture shock bisa menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa
banyak masyarakat di dunia yang semakin sering melakukan aktifitas lintas
budaya.
Usaha untuk mengatasi culture shock,
akhirnya tidak hanya harus dilakukan individu secara perseorangan, tetapi juga
perlu ditangani secara professional dan serius oleh instansi atau lembaga yang
terlibat dalam pertukaran antar budaya. Misalnya saja di sekolah internasional,
yang memiliki siswa-siswa dari budaya yang berbeda tampaknya perlu menyediakan
tenaga konselor dan program yang terarah untuk membantu penyesuaian diri
siswa-siswi yang berasal dari budaya yang berbeda. Perhatian juga diperlukan
bagi perusahaan yang memiliki para ekspatriat ataupun mengirimkan karyawannya
untuk ditugaskan di tempat yang berbeda dari kultur asalnya, dengan pemberian
pelatihan, pemahaman dan training yang sesuai, demi tercapainya produktifitas
kerja karyawannya karena terbebas dari culture shock. Pada akhirnya,
usaha dari berbagai pihak diharapkan dapat membuahkan hasil yang lebih
memuaskan.
0 Komentar untuk "Makalah Sosiologi Tentang Culture Shock"